Friday, December 13, 2013

Kendeng Kaya Hayati dan Nabati

Kawasan Pegunungan Kendeng Utara di wilayah Pati tidak hanya menyimpan sumber mineral yang melimpah. Di balik itu, kekayaan hayati dan nabati yang saling berkaitan dan melindungi, juga terdapat di pegunungan tersebut.
Potensi terakhir terungkap dari hasil pendataan keanekaragaman hayati (bio diversity) yang dilakukan Yayasan Society for Health, Education, Environment, and Peace (SHEEP) Indonesia dan komunitas pecinta capung, Indonesia Dragonfly Society (IDS).
Kegiatan yang berlangsung 7-11 Desember itu, terfokus di sejumlah titik, terutama lokasi sumber air di Desa Brati, Kecamatan Kayen dan Desa Larangan, Kecamatan Tambakromo. Ketua IDS Wahyu Sigit Rhd mengemukakan, dari pengamatan selama lima hari, pihaknya menemukan 30 spesies capung, 55 spesies kupu-kupu dan 45 spesies burung.
Tiga di antara 30 spesies capung itu, masuk kategori endimik Jawa (hanya ada di Jawa). Bahkan sebagian besar merupakan capung yang sangat sensitif terhadap polutan (pestisida pertanian, industri maupun limbah rumah tangga).
Adapun di antara sekian spesies kupu-kupu dan burung, juga ditemukan jenis yang merupakan satwa dilindungi. "Dari sejumlah temuan itu, dapat dikatakan bahwa kawasan mata air dan hutan di Pegunungan Kendeng Utara Pati merupakan kawasan yang memiliki kekayaan hayati dan nabati melimpah," ujarnya, kemarin. Kekayaan hayati dan nabati itu saling berkaitan dan melindungi.
Salah satu contohnya, keberadaan capung dan burung mampu bekerja sama mengendalikan hama di kawasan pertanian. "Kalau keberagaman kupukupu menunjukkan adanya keanekaragaman tumbuhan (kerapatan vegetasi), mulai dari tanaman keras, semusim hingga tanaman yang berfungsi sebagai obat," tandasnya.
Dalam pendataan tersebut, sebenarnya Yayasan SHEEPdan IDS hanya ingin melakukan pengamatan terhadap capung. Namun karena di lapangan ditemukan jenis satwa lain yang berhubungan erat dengan kondisi alam di Pegunungan Kendeng, maka sekaligus didata. Sejauh ini, peran dan manfaat capung cukup besar.
Selain sebagai penanda pergantian musim, capung juga merupakan bio indikator kondisi lingkungan. Sekaligus berperan sebagai predator (pemakan) serangga yang statusnya hama, seperti nyamuk, wereng, lalat, kepik daun, kutu daun, ngengat, kupu-kupu, dan jentik nyamuk.
"Jadi, jika kawasan Kendeng rusak, maka keanekaragaman hayatinya, seperti capung, kupu-kupu dan burung juga akan semakin berkurang. Dampaknya, keseimbangan alam akan terganggu, termasuk gangguan di sektor pertanian dan kesehatan," tandasnya.

Sumber : Suaramerdeka

Wednesday, May 8, 2013

SEJARAH SINGKAT KI GEDE MIYONO (KI AGENG DHARMOYONO SURGI)

PENINGGALANNYA BERUPA BENDA-BENDA KUNO YANG DITEMUKAN  DI MIYONO, DUKUH MBULLOH, DESA/ KECAMATAN KAYEN, KABUPATEN PATI

Ki Ageng Dharmoyono (Ki Gede Miyono) adalah seorang pendatang, dari Tuban Jawa Timur, datang ke Miyono, pada waktu itu disebut Desa Tohyaning. Beliau merupakan cucu dari R. Ahmad Sahur Bupati Wilotikto Tuban, dan ibunya Dewi Sari (Sarifah) adik kandung Raden Sahid (Sunan Kalijaga). Ayah Ki Ageng Dharmoyono adalah bernama Empu Supo (Supo Madu Rangin), Kakeknya bernama Empu Supondriyo (Dharmokusumo) bin Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri).

Ki Ageng Dharmoyono sengaja pergi mengembara misi dakwah meninggalkan indahnya kehidupan dalam keraton dan meninggalkan pangkat, jabatan di pemerintahan Tuban, masuk kedunia sufi/Tasawuf.

Sebelum kedatangan Ki Ageng Dharmoyono, Tohyaning merupakan sebuah tempat yang diyakini masyarakat setempat menjadi pusat penyebaran agama Hindu, sekaligus pusat Pemerintahan sebuah kerajaan yang ada hubungannya dengan cerita rakyat Babad Tanah Jawa. Hal ini di buktikan dengan adanya temuan-temuan yang masih disimpan pengurus, diantaranya :

Beberapa Gares yang mirip lencana prajurit yang bertanda huruf C III, beberapa Arca, 1 Arca dari batu putih yang berbentuk seperti Dewi Durga, yang oleh Prambanan merupakan pujaan orang Hindu dibuat sekitar abad 8 – 13 Masehi, juga ditemukan bekas bangunan yang sekarang masih dibawah tanah, yang tersusun dari bata merah berukuran panjang 40 cm, lebar 20 cm, tebal 10 cm yang disusun rapi tanpa perekat (hanya pakai tanah liat).

Juga ditemukan peralatan makan dan minum, juga timbangan Emas, yang semuannya terbuat dari logam towo dan keramik bergambar warna biru.

Ki Ageng Dharmoyono datang di Desa Tohyaning (Telaga air jernih) atau Miyono sekitar abad ke 14 Masehi. Beliau datang ke Desa Miyono dengan tujuan dakwah menyebarkan Agama Islam dengan cara kejawen (Tatanan orang Jawa). Dan atas pertolongan Allah SWT. Disertai usaha yang gigih, Ki Ageng Dharmoyono berhasil merubah agama penduduk Miyono yang semula Hindu menjadi Islam, lama-kelamaan nama Miyono berubah menjadi Ki Anut (penduduk Miyono anut). Ki Ageng Dharmoyono terkenal dengan sesebutan Mbah Anut (sesepuh yang di anut/di ikuti). Beliau juga terkenal Ki Miyono/Ki Yono (Kyai Sakti yang mukim di Miyono).

Ki Ageng Dharmoyono (Ki Gede Miyono) ini merupakan seorang Waliyulloh yang punya kelebihan ilmu dan kepandaian, pendiam, kaya dan dermawan, dalam hal ini menurut pendapat Hadrotus Syeh Habib Muhammad Lutfi bin Ali Yahya Pekalongan, beliau memberi amanat kepada kami (Pengurus Makam, Tokoh Masyarakat & Tokoh Agama Desa Kayen) untuk mendirikan Masjid bernama “MASJID PEPUNDEN MIYONO” di sekitar lokasi Makam Ki Ageng Dharmoyono. Temu Silaturrahim pada hari Rabu Kliwon, 12 Mei 2010 / 26 Jumadilawal 1431 H.

Dalam perjuangan menyebarkan Agama Islam di Miyono Desa/ Kecamatan Kayen Pati Selatan dan sekitarnya , Ki Ageng Dharmoyono bersama 3 saudara/adiknya :

1. Ki Ageng Dharmoyoso Breganjing (Mbah Hyang Dharmoyoso Surgi Breganjing / Empu Breganjing Cengkalsewu)

Merupakan cikal bakal Desa Cengkalsewu (Empu Dharmoyoso mendapatkan hadiah tanah seribu jengkal dari Kerajaan Mataram yang akhirnya terkenal dengan sebutan Desa Cengkalsewu). Makam Ki Ageng Dharmoyoso berada di Dukuh Dermoyo Desa Cengkalsewu Kecamatan Sukolilo Kab. Pati sekitar 5 Km dari Makam Ki Ageng Dharmoyono Surgi ke arah barat. Adapun Makam Ki Ageng Dharmoyoso Breganjing mulai pugar pada Tahun 1924 oleh Datuk Kusumo / H. Abdul syukur yang menjabat Petinggi (Kepala Desa) Sumbersari Kayen selama 45 tahun pada masa penjajahan Belanda sampai Indonesia Merdeka. Makam ini sering dikunjungi oleh Almaghfurlah Mbah Ahmad Shobib, salah seorang tokoh Ulama Sepuh dari Jepara 1987 – 1995. Adapun Makam Mbah Hyang Dharmoyoso hingga sekarang masih banyak dikunjungi para peziarah baik para Habaib, Ulama, Kyai, Santri, Para Pejabat dan Masyarakat umum dari wilayah Kab Pati, Kudus, Jepara, Grobogan bahkan sampai ada yg datang dari Pulau Kalimantan, Sumatra, dll.

Juru Kunci Makam Mbah Hyang Dharmoyoso Surgi Breganjing yang pertama adalah :
  • Mbah Raminah istri Mbah Sariban (H. Abdul Khodir) Tahun 1924 – 1964 M, dilanjutkan,
  • Putrannya sebagai juru kunci kedua yaitu H. Thohari Amin Thohir tahun 1964-1992M.(dimasa hidupnya adalah PNS di Lingkungan DEPAG sebagai Ketib/Penghulu KUA &juga pernah menjabat sebagai Kepala Desa Cengkalsewu).
  • Dilanjutkan Istrinya Juru Kunci ketiga Bu Sri Thohari dan setelah tua terkenal dengan panggilan Mbahji Maysaroh ( Hj. Sutinah Sri Suyatmi AT). Tahun 1992 sampai sekarang tahun 2011.
Adapun sekitar makam Ki Ageng Dharmoyoso Breganjing / Empu Breganjing Cengkalsewu masih banyak diketemukan tai besi (bekas pande besi).
Sedangkan Haul Mbah Hyang Dharmoyoso Surgi Breganjing diperingati setiap tanggal 15 – 16 Bakdomulud/Rabiulakhir Tahun Hijriah. Demikian sekilas sejarah Ki Ageng Dharmoyoso Breganjing.

2. Nyai Sombro (Nyai Branjung), dan

3. Joko Suro (Empu Suro). Makamnya di Kadilangu Demak berdekatan dengan ayahnya Empu Supo yaitu sebelah kanan sebelum masuk Gapuro Makam R. Sahid Kanjeng Sunan Kalijaga.

Ketiga adik kandung Ki Ageng Dharmoyono Surgi yakni : Ki Ageng Dharmoyoso Breganjing, Nyai Sumbro, Joko Suro (Empu Suro) ketiganya merupakan ahli dalam pembuatan pusaka/Gaman mereka benar-benar mewarisi keahlian pembuatan keris (pusaka) dari Ayahnya Empu Supo dan juga kakeknya Empu Supo Mbungkul. Membuat pusaka/keris dengan cara dipijit-pijit dengan jari dan dijilati dengan lidah.

Peninggalan dan Jasa-jasa beliau adalah :
  1. Menyebarkan Tauhid Ketuhanan, menyebarkan aqidah Islam tanpa meninggalkan ajaran kejawen sebagai penghormatan antara lain tingkep, Sedekah Orang Meninggal, Bakar kemenyan dsb.
  2. Wejangan Ki Ageng Dharmoyono Surgi Miyono yang sangat terkenal yaitu “Keluar masuknya nafas ingat Allah” yang orang jawa dulu menyebut MBULLOH yang artinya “Mlebu Metune Nafas Eling Allah” sampai sekarang dijadikan nama pedukuhan yakni Dukuh Mbulloh.
  3. Bersama dengan adik-adiknya membuat pusaka/gaman yang bisa dimanfaatkan oleh penduduk sekitar yaitu sabit suro, paku suro, lanjam suro, dll.
  4. Beliau mennuah (menjadikan pusaka-pusaka) mempunyai kekuatan ghaib, yang diyakini warga bisa untuk sarana menolak hama, keselamatan dan sebagai piandel/kesaktian dll.
  5. Dari berbagai sumber, Ki Ageng Dharmoyono Surgi/Ki Gede Miyono adalah paman Saridin yang mengasuh/momong Saridin semasa kecil hingga dewasa disebut Syeh Jangkung yang terkenal kesaktiannya dengan Lulang Kebo Landoh. Makamnya ada di Dukuh Landoh Desa Kayen 2 km arah barat dari Makam Jati Kembar sebutan Makam Mbah Hyang Dharmoyono Surgi Miyono. Saridin/Syeh Jangkung anaknya Sunan Muria (R. Umar Said) Cucunya Sunan Kalijaga (R.Sahid). Sedangkan Raden Sahid adalah saudaranya Dewi Sari (Sarifah) ibunya Ki Ageng Dharmoyono, Empu Breganjing, Empu Sumbro dan Empu Suro. Sebagaimana Silsilah terlampir.
  6. Terbukti banyak gupaan kerbau dan tempat pengembalaan kerbau di sekitar Makam Ki Ageng Dharmoyono Surgi (Makam Jati Kembar).

Makam Ki Ageng Dharmoyono (Ki Gede Miyono)mulai diperingati/Haul Tahun 1970 oleh : Mbah Hasan dan Bapak suwadi  atas perintah Mbah Zaid Terban Kudus. Juru kunci Makam Ki Ageng Dharmoyono (Ki Gede Miyono) yang pertama Mbah Sulaiman (Modin) wafat Tahun 1943, diteruskan Mbah Suprawiro Japan wafat Tahun 1976, dilanjutkan Mbah Sukardi dibantu Mbah Samat sampai sekarang.

Adapun Pengurus Makam Ki Ageng Dharmoyono (Ki Gede Miyono)Mbulloh Kayen Kabupaten Pati Yakni : Bp. Subono Kepala Desa sebagai Pelindung, Penasehat : Bp. Suwadi & Bp. K. Ali Ahmadi, Juru Kunci : Mbah Sukardi dibantu Mbah Samat, Ketua : Bp. Nur Rohmat & Bp. Darlan, Sekretaris : Bp. Ahmad Rodli & Bp. Supriyono, Bendahara : Bp. Bayan Yoto dan Bp. Ridwan dan Seksi Pembangunan : Bp. Kenang & Bp. Sukardi, Seksi Usaha : Semua Ketua RT dan RW Dukuh Mbulloh Desa Kayen.

Sebagai pelurusan sejarah dalam cerita seni budaya ketoprak Syeh Jangkung (Saridin) diasuh Ki Ageng Kiringan itu kurang benar. Sebab Ki Ageng Kiringan itu hidup pada masa Pakubuwono II + 1700, padahal Syeh Jangkung (Saridin) wafat tahun 1563 tepatnya tanggal 15 Rajab.

Demikian yang dapat penulis uraikan terkait sejarah Ki Gede Miyono (Ki Ageng Dharmoyono Surgi) dan Saudara-saudaranya, kebenarannya penulis serahkan pada Allah SWT. Yang Maha Tahu.

Nara sumber :
  1. Hadrotus Syeh Habib Muhammad Lutfi bin Ali Yahya Pekalongan;
  2. R. KH. Ridwan Aziz Al Hafidz (Pengasuh Pondok Pesantren Darul Muqoddas & Penasehat Kraton Surakarta) dari Mbanger, Mojomulyo, Tambakromo Pati berdasarkan Kitab Syamsuddhahiroh Sayid Abdur Rohman;
  3. KH. Nur Rohmat (Pengasuh Pondok Pesantren Al Isti’anah & Penasehat Pengurus Makam Mbah Syeh Jangkung Landoh Kayen) dari Plangitan Pati;
  4. Penelitian dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP-3 ) Jawa Tengah di Prambanan 26 Agustus 2010 oleh Bp. Bagus Sujianto,SS;
  5. Babat Landoh jilid II;
  6. Cerita Rakyat turun-temurun;
  7. Peta Lama Desa Kayen (gambar Repetisi/letak tanah)
  8. Penelitian dari TIM Balai Arkeologi Yogyakarta (Rabu, 04 Mei 2011 : Kepala Bpk. Drs. Siswanto, Dra.TM. Rita Istari, Hery Priswanto,SS, Agni Sesaria,M.SS, Ferry Bagus).


Penulis : Nor Rohmani Anshori
(PNS PD Pontren pada Kantor Kementerian Agama Kab. Pati, Pengurus Hondodento Yogyakarta Cabang Pati, Pengurus Benda Cagar Budaya “MAKAM PRAGOLA PATI” Sani, Tamansari Tlogowungu Pati, & Pengurus Makam Ki Ageng Dharmoyoso Breganjing / Empu Breganjing Dk. Dermoyo Cengkalsewu Sukolilo Pati)