Friday, December 13, 2013

Kendeng Kaya Hayati dan Nabati

Kawasan Pegunungan Kendeng Utara di wilayah Pati tidak hanya menyimpan sumber mineral yang melimpah. Di balik itu, kekayaan hayati dan nabati yang saling berkaitan dan melindungi, juga terdapat di pegunungan tersebut.
Potensi terakhir terungkap dari hasil pendataan keanekaragaman hayati (bio diversity) yang dilakukan Yayasan Society for Health, Education, Environment, and Peace (SHEEP) Indonesia dan komunitas pecinta capung, Indonesia Dragonfly Society (IDS).
Kegiatan yang berlangsung 7-11 Desember itu, terfokus di sejumlah titik, terutama lokasi sumber air di Desa Brati, Kecamatan Kayen dan Desa Larangan, Kecamatan Tambakromo. Ketua IDS Wahyu Sigit Rhd mengemukakan, dari pengamatan selama lima hari, pihaknya menemukan 30 spesies capung, 55 spesies kupu-kupu dan 45 spesies burung.
Tiga di antara 30 spesies capung itu, masuk kategori endimik Jawa (hanya ada di Jawa). Bahkan sebagian besar merupakan capung yang sangat sensitif terhadap polutan (pestisida pertanian, industri maupun limbah rumah tangga).
Adapun di antara sekian spesies kupu-kupu dan burung, juga ditemukan jenis yang merupakan satwa dilindungi. "Dari sejumlah temuan itu, dapat dikatakan bahwa kawasan mata air dan hutan di Pegunungan Kendeng Utara Pati merupakan kawasan yang memiliki kekayaan hayati dan nabati melimpah," ujarnya, kemarin. Kekayaan hayati dan nabati itu saling berkaitan dan melindungi.
Salah satu contohnya, keberadaan capung dan burung mampu bekerja sama mengendalikan hama di kawasan pertanian. "Kalau keberagaman kupukupu menunjukkan adanya keanekaragaman tumbuhan (kerapatan vegetasi), mulai dari tanaman keras, semusim hingga tanaman yang berfungsi sebagai obat," tandasnya.
Dalam pendataan tersebut, sebenarnya Yayasan SHEEPdan IDS hanya ingin melakukan pengamatan terhadap capung. Namun karena di lapangan ditemukan jenis satwa lain yang berhubungan erat dengan kondisi alam di Pegunungan Kendeng, maka sekaligus didata. Sejauh ini, peran dan manfaat capung cukup besar.
Selain sebagai penanda pergantian musim, capung juga merupakan bio indikator kondisi lingkungan. Sekaligus berperan sebagai predator (pemakan) serangga yang statusnya hama, seperti nyamuk, wereng, lalat, kepik daun, kutu daun, ngengat, kupu-kupu, dan jentik nyamuk.
"Jadi, jika kawasan Kendeng rusak, maka keanekaragaman hayatinya, seperti capung, kupu-kupu dan burung juga akan semakin berkurang. Dampaknya, keseimbangan alam akan terganggu, termasuk gangguan di sektor pertanian dan kesehatan," tandasnya.

Sumber : Suaramerdeka

Wednesday, May 8, 2013

SEJARAH SINGKAT KI GEDE MIYONO (KI AGENG DHARMOYONO SURGI)

PENINGGALANNYA BERUPA BENDA-BENDA KUNO YANG DITEMUKAN  DI MIYONO, DUKUH MBULLOH, DESA/ KECAMATAN KAYEN, KABUPATEN PATI

Ki Ageng Dharmoyono (Ki Gede Miyono) adalah seorang pendatang, dari Tuban Jawa Timur, datang ke Miyono, pada waktu itu disebut Desa Tohyaning. Beliau merupakan cucu dari R. Ahmad Sahur Bupati Wilotikto Tuban, dan ibunya Dewi Sari (Sarifah) adik kandung Raden Sahid (Sunan Kalijaga). Ayah Ki Ageng Dharmoyono adalah bernama Empu Supo (Supo Madu Rangin), Kakeknya bernama Empu Supondriyo (Dharmokusumo) bin Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri).

Ki Ageng Dharmoyono sengaja pergi mengembara misi dakwah meninggalkan indahnya kehidupan dalam keraton dan meninggalkan pangkat, jabatan di pemerintahan Tuban, masuk kedunia sufi/Tasawuf.

Sebelum kedatangan Ki Ageng Dharmoyono, Tohyaning merupakan sebuah tempat yang diyakini masyarakat setempat menjadi pusat penyebaran agama Hindu, sekaligus pusat Pemerintahan sebuah kerajaan yang ada hubungannya dengan cerita rakyat Babad Tanah Jawa. Hal ini di buktikan dengan adanya temuan-temuan yang masih disimpan pengurus, diantaranya :

Beberapa Gares yang mirip lencana prajurit yang bertanda huruf C III, beberapa Arca, 1 Arca dari batu putih yang berbentuk seperti Dewi Durga, yang oleh Prambanan merupakan pujaan orang Hindu dibuat sekitar abad 8 – 13 Masehi, juga ditemukan bekas bangunan yang sekarang masih dibawah tanah, yang tersusun dari bata merah berukuran panjang 40 cm, lebar 20 cm, tebal 10 cm yang disusun rapi tanpa perekat (hanya pakai tanah liat).

Juga ditemukan peralatan makan dan minum, juga timbangan Emas, yang semuannya terbuat dari logam towo dan keramik bergambar warna biru.

Ki Ageng Dharmoyono datang di Desa Tohyaning (Telaga air jernih) atau Miyono sekitar abad ke 14 Masehi. Beliau datang ke Desa Miyono dengan tujuan dakwah menyebarkan Agama Islam dengan cara kejawen (Tatanan orang Jawa). Dan atas pertolongan Allah SWT. Disertai usaha yang gigih, Ki Ageng Dharmoyono berhasil merubah agama penduduk Miyono yang semula Hindu menjadi Islam, lama-kelamaan nama Miyono berubah menjadi Ki Anut (penduduk Miyono anut). Ki Ageng Dharmoyono terkenal dengan sesebutan Mbah Anut (sesepuh yang di anut/di ikuti). Beliau juga terkenal Ki Miyono/Ki Yono (Kyai Sakti yang mukim di Miyono).

Ki Ageng Dharmoyono (Ki Gede Miyono) ini merupakan seorang Waliyulloh yang punya kelebihan ilmu dan kepandaian, pendiam, kaya dan dermawan, dalam hal ini menurut pendapat Hadrotus Syeh Habib Muhammad Lutfi bin Ali Yahya Pekalongan, beliau memberi amanat kepada kami (Pengurus Makam, Tokoh Masyarakat & Tokoh Agama Desa Kayen) untuk mendirikan Masjid bernama “MASJID PEPUNDEN MIYONO” di sekitar lokasi Makam Ki Ageng Dharmoyono. Temu Silaturrahim pada hari Rabu Kliwon, 12 Mei 2010 / 26 Jumadilawal 1431 H.

Dalam perjuangan menyebarkan Agama Islam di Miyono Desa/ Kecamatan Kayen Pati Selatan dan sekitarnya , Ki Ageng Dharmoyono bersama 3 saudara/adiknya :

1. Ki Ageng Dharmoyoso Breganjing (Mbah Hyang Dharmoyoso Surgi Breganjing / Empu Breganjing Cengkalsewu)

Merupakan cikal bakal Desa Cengkalsewu (Empu Dharmoyoso mendapatkan hadiah tanah seribu jengkal dari Kerajaan Mataram yang akhirnya terkenal dengan sebutan Desa Cengkalsewu). Makam Ki Ageng Dharmoyoso berada di Dukuh Dermoyo Desa Cengkalsewu Kecamatan Sukolilo Kab. Pati sekitar 5 Km dari Makam Ki Ageng Dharmoyono Surgi ke arah barat. Adapun Makam Ki Ageng Dharmoyoso Breganjing mulai pugar pada Tahun 1924 oleh Datuk Kusumo / H. Abdul syukur yang menjabat Petinggi (Kepala Desa) Sumbersari Kayen selama 45 tahun pada masa penjajahan Belanda sampai Indonesia Merdeka. Makam ini sering dikunjungi oleh Almaghfurlah Mbah Ahmad Shobib, salah seorang tokoh Ulama Sepuh dari Jepara 1987 – 1995. Adapun Makam Mbah Hyang Dharmoyoso hingga sekarang masih banyak dikunjungi para peziarah baik para Habaib, Ulama, Kyai, Santri, Para Pejabat dan Masyarakat umum dari wilayah Kab Pati, Kudus, Jepara, Grobogan bahkan sampai ada yg datang dari Pulau Kalimantan, Sumatra, dll.

Juru Kunci Makam Mbah Hyang Dharmoyoso Surgi Breganjing yang pertama adalah :
  • Mbah Raminah istri Mbah Sariban (H. Abdul Khodir) Tahun 1924 – 1964 M, dilanjutkan,
  • Putrannya sebagai juru kunci kedua yaitu H. Thohari Amin Thohir tahun 1964-1992M.(dimasa hidupnya adalah PNS di Lingkungan DEPAG sebagai Ketib/Penghulu KUA &juga pernah menjabat sebagai Kepala Desa Cengkalsewu).
  • Dilanjutkan Istrinya Juru Kunci ketiga Bu Sri Thohari dan setelah tua terkenal dengan panggilan Mbahji Maysaroh ( Hj. Sutinah Sri Suyatmi AT). Tahun 1992 sampai sekarang tahun 2011.
Adapun sekitar makam Ki Ageng Dharmoyoso Breganjing / Empu Breganjing Cengkalsewu masih banyak diketemukan tai besi (bekas pande besi).
Sedangkan Haul Mbah Hyang Dharmoyoso Surgi Breganjing diperingati setiap tanggal 15 – 16 Bakdomulud/Rabiulakhir Tahun Hijriah. Demikian sekilas sejarah Ki Ageng Dharmoyoso Breganjing.

2. Nyai Sombro (Nyai Branjung), dan

3. Joko Suro (Empu Suro). Makamnya di Kadilangu Demak berdekatan dengan ayahnya Empu Supo yaitu sebelah kanan sebelum masuk Gapuro Makam R. Sahid Kanjeng Sunan Kalijaga.

Ketiga adik kandung Ki Ageng Dharmoyono Surgi yakni : Ki Ageng Dharmoyoso Breganjing, Nyai Sumbro, Joko Suro (Empu Suro) ketiganya merupakan ahli dalam pembuatan pusaka/Gaman mereka benar-benar mewarisi keahlian pembuatan keris (pusaka) dari Ayahnya Empu Supo dan juga kakeknya Empu Supo Mbungkul. Membuat pusaka/keris dengan cara dipijit-pijit dengan jari dan dijilati dengan lidah.

Peninggalan dan Jasa-jasa beliau adalah :
  1. Menyebarkan Tauhid Ketuhanan, menyebarkan aqidah Islam tanpa meninggalkan ajaran kejawen sebagai penghormatan antara lain tingkep, Sedekah Orang Meninggal, Bakar kemenyan dsb.
  2. Wejangan Ki Ageng Dharmoyono Surgi Miyono yang sangat terkenal yaitu “Keluar masuknya nafas ingat Allah” yang orang jawa dulu menyebut MBULLOH yang artinya “Mlebu Metune Nafas Eling Allah” sampai sekarang dijadikan nama pedukuhan yakni Dukuh Mbulloh.
  3. Bersama dengan adik-adiknya membuat pusaka/gaman yang bisa dimanfaatkan oleh penduduk sekitar yaitu sabit suro, paku suro, lanjam suro, dll.
  4. Beliau mennuah (menjadikan pusaka-pusaka) mempunyai kekuatan ghaib, yang diyakini warga bisa untuk sarana menolak hama, keselamatan dan sebagai piandel/kesaktian dll.
  5. Dari berbagai sumber, Ki Ageng Dharmoyono Surgi/Ki Gede Miyono adalah paman Saridin yang mengasuh/momong Saridin semasa kecil hingga dewasa disebut Syeh Jangkung yang terkenal kesaktiannya dengan Lulang Kebo Landoh. Makamnya ada di Dukuh Landoh Desa Kayen 2 km arah barat dari Makam Jati Kembar sebutan Makam Mbah Hyang Dharmoyono Surgi Miyono. Saridin/Syeh Jangkung anaknya Sunan Muria (R. Umar Said) Cucunya Sunan Kalijaga (R.Sahid). Sedangkan Raden Sahid adalah saudaranya Dewi Sari (Sarifah) ibunya Ki Ageng Dharmoyono, Empu Breganjing, Empu Sumbro dan Empu Suro. Sebagaimana Silsilah terlampir.
  6. Terbukti banyak gupaan kerbau dan tempat pengembalaan kerbau di sekitar Makam Ki Ageng Dharmoyono Surgi (Makam Jati Kembar).

Makam Ki Ageng Dharmoyono (Ki Gede Miyono)mulai diperingati/Haul Tahun 1970 oleh : Mbah Hasan dan Bapak suwadi  atas perintah Mbah Zaid Terban Kudus. Juru kunci Makam Ki Ageng Dharmoyono (Ki Gede Miyono) yang pertama Mbah Sulaiman (Modin) wafat Tahun 1943, diteruskan Mbah Suprawiro Japan wafat Tahun 1976, dilanjutkan Mbah Sukardi dibantu Mbah Samat sampai sekarang.

Adapun Pengurus Makam Ki Ageng Dharmoyono (Ki Gede Miyono)Mbulloh Kayen Kabupaten Pati Yakni : Bp. Subono Kepala Desa sebagai Pelindung, Penasehat : Bp. Suwadi & Bp. K. Ali Ahmadi, Juru Kunci : Mbah Sukardi dibantu Mbah Samat, Ketua : Bp. Nur Rohmat & Bp. Darlan, Sekretaris : Bp. Ahmad Rodli & Bp. Supriyono, Bendahara : Bp. Bayan Yoto dan Bp. Ridwan dan Seksi Pembangunan : Bp. Kenang & Bp. Sukardi, Seksi Usaha : Semua Ketua RT dan RW Dukuh Mbulloh Desa Kayen.

Sebagai pelurusan sejarah dalam cerita seni budaya ketoprak Syeh Jangkung (Saridin) diasuh Ki Ageng Kiringan itu kurang benar. Sebab Ki Ageng Kiringan itu hidup pada masa Pakubuwono II + 1700, padahal Syeh Jangkung (Saridin) wafat tahun 1563 tepatnya tanggal 15 Rajab.

Demikian yang dapat penulis uraikan terkait sejarah Ki Gede Miyono (Ki Ageng Dharmoyono Surgi) dan Saudara-saudaranya, kebenarannya penulis serahkan pada Allah SWT. Yang Maha Tahu.

Nara sumber :
  1. Hadrotus Syeh Habib Muhammad Lutfi bin Ali Yahya Pekalongan;
  2. R. KH. Ridwan Aziz Al Hafidz (Pengasuh Pondok Pesantren Darul Muqoddas & Penasehat Kraton Surakarta) dari Mbanger, Mojomulyo, Tambakromo Pati berdasarkan Kitab Syamsuddhahiroh Sayid Abdur Rohman;
  3. KH. Nur Rohmat (Pengasuh Pondok Pesantren Al Isti’anah & Penasehat Pengurus Makam Mbah Syeh Jangkung Landoh Kayen) dari Plangitan Pati;
  4. Penelitian dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP-3 ) Jawa Tengah di Prambanan 26 Agustus 2010 oleh Bp. Bagus Sujianto,SS;
  5. Babat Landoh jilid II;
  6. Cerita Rakyat turun-temurun;
  7. Peta Lama Desa Kayen (gambar Repetisi/letak tanah)
  8. Penelitian dari TIM Balai Arkeologi Yogyakarta (Rabu, 04 Mei 2011 : Kepala Bpk. Drs. Siswanto, Dra.TM. Rita Istari, Hery Priswanto,SS, Agni Sesaria,M.SS, Ferry Bagus).


Penulis : Nor Rohmani Anshori
(PNS PD Pontren pada Kantor Kementerian Agama Kab. Pati, Pengurus Hondodento Yogyakarta Cabang Pati, Pengurus Benda Cagar Budaya “MAKAM PRAGOLA PATI” Sani, Tamansari Tlogowungu Pati, & Pengurus Makam Ki Ageng Dharmoyoso Breganjing / Empu Breganjing Dk. Dermoyo Cengkalsewu Sukolilo Pati)

Monday, October 15, 2012

Pegunungan Kendeng Utara, Kawasan Karst Kabupaten Pati

Bagian selatan Kabupaten Pati memapar sebuah pegunungan, secara fisiografi pegunungan tersebut masuk ke dalam jajaran Antiklinorium Rembang – Madura (Bammelen, 1949) masyarakat  lebih mengenal sebagai Pegunungan Kendeng Utara. Pegunungan Kendeng Utara tersebut merupakan hamparan perbukitan batukapur yang telah mengalami proses-proses alamiah dalam batasan ruang dan waktu geologi. Produk dari dinamika bumi yang berlangsung dari masa lalu hingga saat ini telah menghasilkan suatu fenomena alam yang unik. Kita mengenalnya dengan istilah Bentang Alam Karst. Fenomena bentang alam Karst Kendeng Utara tercermin melalui banyaknya bukit-bukit kapur kerucut, munculnya mataair-mataair pada rekahan batuan, mengalirnya sungai-sungai bawah tanah dengan lorong gua sebagai koridornya.

Munculnya gerakan penolakan masyarakat secara besar-besaran terhadapa rencana investasi semen di kawasan Karst Kendeng Utara sudah terjadi sejak tahun 2008 pada saat PT Semen Gresik ingin melakukan investasi untuk mendirikan Pabrik Semen dan penambangan kawasan karst di Kecamatan Sukolilo yang akhirnya gagal terealisasi. Penolakan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pendirian pabrik semen dan penambangan pabrik semen disebabkan karan masyarakat meyakini dampak besar yang akan terjadi di masa yang akan datang adalah :
  1. Kerusakan lingkungan kawasan karst; 
  2. Hilangnya sumber-sumber air dan sungai-sungai bawah permukaan yang ada di kawasan Karst Kendeng Utara sehingga mempengaruhi suplay air untuk penghidupan dan pertanian masyarakat; 
  3. Potensi banjir yang sudah ada akan menjadi lebih besar dan lebih lama karna hilangnya fungsi penyerap air yang memicu meningkatnya aliran permukaan pada saat musim hujan; 
  4. Hilangnya fungsi ekologis sebagai pengontrol keanekaragaman hayati di kawasan karst Kendeng Utara;
  5. Perubahan bentuk lahan yang sangat cepat;
  6. Dampak kesehatan masyarakat yang berada di sekitar pabrik dan kawasan penambangan; 
  7. Hilangnya sumber mata pencarian masyarakat petani karena perubahan lahan pertanian menjadi lahan pertambangan.
Hal-hal yang perlu diketahui tentang Pegunungan Kendeng Utara :
  1. Berdasarkan penelitian Acintyacunyata Speleological Club (ASC) Yogyakarta yang dilakukan di Kawasan Pegunungan Kendeng pada tahun 1994, 2006 dan 2008 meliputi Kabupaten Pati, Grobogan telah ditemukan 156 sumber air yang berada di semua level ketinggian 5 – 450 mdpl dan 71 goa yang sebagian besar adalah gua berair. Berdasarkan penelitian ini dinyatakan bahwa kawasan karst Kendeng Utara adalah Kawasan Karst Aktif yang masih mengalami proses karstifikasi dan memiliki sistem hidrologi yang berfungsi sebagai pengontrol ekologi di kawasan Karst Kendeng Utara;
  2. Kawasan perbukitan batu gamping di pegunungan Kendeng Utara merupakan kawasan karst yang harus di lindungi karena merupakan perbukitan yang berfungsi sebagai “Tandon Air” dari mata air-mata air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar air baku dan pengairan lahan pertanian masyarakat;
  3. Mata air dan sistem sungai bawah tanah di Kawasan Karst Kendeng Utara bersifat perennial (mengalir sepanjang musim);
  4. Pola aliran (sistem hidrologi) yang berkembang adalah pola pengaliran paralel yang dikontrol oleh struktur geologi yang ada di kawasan tersebut. Penjajaran mata air karst pada bagian Utara dan Selatan perbukitan karst Kendeng Utara, muncul pada ketinggian kisaran 5 -350 mdpl radius 1 – 2  km dari perbukitan karst Kendeng Utara;
  5. Fungsi hidrologi di kawasan ini merupakan pengontrol utama sistem ekologi yang meliputi hubungan antara-komponen-komponen abiotik (tanah, batuan, sungai, air, dll), biotik (biota-biota gua serta flora dan fauna yang ada di kawasan karst), dan budaya (lingkungan sosial, masyarakat, kebudayaan, dan adat istiadat) yang berinteraksi antara satu dengan yang lainnya membentuk suatu ekosistem dimana karst sebagai kontrol utamanya;
  6. Perbukitan Kawasan Karst Kendeng Utara berfungsi sebagai daerah resapan dan penyimpan air untuk mata air–mata air yang mengalir di permukiman, baik di bagian Utara maupun bagian Selatan Kawasan ini. Komplek perguaan kawasan Karst Kendeng Utara memiliki potensi sumber daya air untuk kebutuhan dasar lebih dari 8.000 rumah tangga serta lebih dari 4.000 ha lahan pertaniaan sebagai sumber penghidupan mereka. Pola permukiman di kawasan tersebut semuanya mendekati pemunculan mata air-mata air, terutama pada bagian-bagian atas;
  7. Kawasan Karst Kendeng Utara merupakan pengontrol fungsi sistem hidrogeologis pegunungan Kendeng Utara;
  8. Kawasan Karst Kendeng Utara merupakan peninggalan cagar geologi yang berfungsi sebagai laboratorium alam. Bukti tersebut dikuatkan dengan banyaknya gua-gua yang berkembang baik. Gua-gua tersebut sebagian besar merupakan sungai bawah tanah aktif;
  9. Terdapat biota-biota yang hidup dikawasan karst Kendeng Utara, permukaan maupun bawah permukaan yang berfungsi sebagai pengontrol keseimbangan ekosistem kawasan Karst Sukolilo dan sekitar, seperti kelelawar penghuni gua sebagai pengontrol hama, penyebar benih tanaman dan membantu penyerbukan. Terdapat juga biota yang masuk kategori satwa dilindungi, seperti Burung Merak;
  10. Rencana penambangan batu gamping di Kawasan karst Kendeng Utara Kecamatan Kayen dan Tambakromo dipastikan akan melanggar hukum dan perundangan yang berlaku di Indonesia;
  11. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Sumber Data Mineral Nomer 398 K/40/MEM/2005, menetapkan “Kecamatan Kayen, Kecamatan Tambakromo di Kabupaten Pati, Kecamatan Brati, Kecamatan Grobogan, Kecamatan Tawangharjo, Kecamatan Wirosari dan Kecamatan Ngaringan di Kabupaten Grobogan, Kecamatan Todanan di Kabupaten Blora, Propinsi Jawa Tengah, sebagai Kawasan Karst Sukolilo”;
  12. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah  menyatakan bahwa kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan karst adalah termasuk dalam kawasan lindung geologi sesuai dengan pasal 60 ayat 2 point c sebagai kawasan bentang alam goa dan point f sebagai kawasan bentang alam karst dikategorikan sebagai kawasan lindung geologi.

Referensi : petrasawacana

Selayang Pandang 3 (Gua Pancur)

Bagian Dalam Gua Pancur, Dekat Dengan Pintu Masuk
Sumber Air Dari Celah Gua
Kelelawar di Atap Gua
Menuju Dalam Gua
Bentuk Lorong Gua
Aliran Air Dari Dalam Gua

Sumber : Sumber 1, Sumber 2

Sumber Ndodo

Sumber Ndodo merupakan sebuah sumber mata air yang berada di kaki Pegunungan Kendeng Utara desa Jimbaran, kecamatan Kayen, Pati. Lokasinya tidak jauh dari obyek wisata Gua Pancur.

Sumber mata air ini berasal dari akar pohon Nyamplung (Calophyllum sp.) yang berdiri kokoh, tegak, dan menjulang tinggi. Di sekitarnya memang banyak pohon-pohon tua yang lain, namun dialah yang paling besar. Usianya mungkin telah ratusan tahun. Besar dan tingginya pohon membuat dia selalu lebih jelas terlihat dari kejauhan.

Dengan mata air yang mengalir di bawahnya dan sebuah punden seorang tokoh Kadipaten Pati di dekatnya, pohon ini menjadi pohon yang spesial dan dianggap sakral oleh masyarakat sekitar. Di bawah batang besar pohon ini mengalir sebuah mata air yang tak pernah kering. Mengalir sepanjang tahun meski debit airnya tak terlalu besar. Bahkan ketika kemarau panjang, ketika sumur-sumur warga kering, warga dari lain kecamatan pun ikut berduyun-duyun mendatangi mata air ini untuk mengambil air yang digunakan untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Hingga kini, Sumber Ndodo di bawah Pohon Nyamplung tetap tak pernah sepi dari warga yang hendak mencuci, mengambil air minum, atau sekedar mandi setiap hari. Tentu saja juga tak pernah sepi dari warga yang ingin tirakat dan nenepi.

Sumber Ndodo dan Pohon Nyamplung di atasnya tak dapat dipisahkan, mereka adalah satu kesatuan yang menjadi sumber kehidupan bagi warga di sekitarnya, nafas bagi ribuan petak sawah di bawahnya. Entah apa jadinya apabila pohon penuh jasa ini ditebang atau tumbang. Mungkin yang tersisa hanya kekeringan, dan penderitaan yang mendalam.






Referensi : greenweb, virtualtourist

Sunday, October 14, 2012

Selayang Pandang 2 (Candi Miyono)

Lokasi Penemuan Candi, Samping Musholla
Stuktur Asli Batu Bata Tampak di Permukaan Tanah
Proses Penggalian
Candi Utama, Sebagian Tertimbun Pondasi Musholla
Candi Perwara 1
Candi Perwara 1
Tertimbun Pondasi Musholla
Struktur Candi Utama
Struktur Candi Utama
Temuan Gerabah dari Barat Candi Utama
Struktur Tangga, Sebelah Barat Candi Perwara
Batu Bata Kaki Candi
Artefak yang Ditemukan
Arca
Struktur Batu Bata
Area Makam Ki Ageng Gede Miyono
2 Pohon Jati di Area Makam
Area Makam
Struktur Lantai Makam yang Dibangun Menggunakan Batu Bata Candi
Sisa Artefak Kemuncak Candi
Musholla Di Area Candi
Ukuran Batu Bata Candi Sekitar 40x30 cm
Tes Pit Sebelah Barat Musholla
Tes Pit Sebelah Timur Musholla
Beberapa Bata yang Diangkat ke Permukaan, Dikumpulkan di Sebelah Selatan Musholla
Ukuran Batu Bata yang Besar
Mata Uang "Yatra Kenthang", Masih Dipergunakan Pada Masa Pra Pendudukan Jepang Sebagai Mata Uang. Sering Ditemukan di Sekitar Kampung


Candi Kayen Sumbang Teknologi Arsitektur Bata

Temuan kaki candi Hindu abad IX dan X di Dukuh Buloh, Desa Kayen, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menyumbang ilmu arsitektur tentang bangunan bata kuno. Temuan itu sekaligus menambah referensi tentang sejarah penyebaran agama Hindu kuno di kawasan pesisir pantai utara.

Ketua Tim Penelitian Candi Kayen Balai Arkeologi Yogyakarta TM Rita Istari menyatakan hal itu di Pati, Jumat (20/7/2012). Bersama Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah, tim meneliti dan mengekskavasi temuan itu pada 14-22 Juli. Sebagian kaki candi itu ditemukan pada 1979 oleh penduduk setempat. Baru pada 2011, Balai Arkeologi Yogyakarta mulai meneliti dan mengeksvakasi. Di lokasi itu pula ditemukan arca Siwa Mahakala dari batu putih, kemuncak candi, darpana atau bingkai cermin dari perunggu, dan antefiks atau hiasan candi.

Rita mengatakan, berdasarkan temuan kaki candi, candi dibuat dengan cara menyusun batu bata. Dua teknik menyusun yang dipakai adalah teknik "gosod" dan "takik". Teknik "gosod" merupakan cara menempelkan bata dengan menggesek-gesekkan dua batu bata setengah basah. Batu bata itu akan mengeluarkan lumpur bata yang setelah kering bisa merekat.

"Adapun teknik 'takik' merupakan cara menyambung atau memasang dua sisi bata mirip puzzle. Di satu sisi ada bagian yang menonjol dan di sisi lain ada bagian untuk memasukkan sisi yang menonjol itu," kata Rita.

Menurut Rita, batu bata yang digunakan cukup besar, yaitu panjang 39 sentimeter, lebar 25 sentimeter, dan tebal 10-11 sentimeter. Melihat bentuk bata yang simetris, kemungkinan batu bata itu dicetak menggunakan cetakan kayu.

Bangunan candi batu bata itu juga memperkaya sejarah penyebaran agama Hindu di pesisir Jawa Tengah. Selama ini, mayoritas candi Hindu terdapat di dataran tinggi karena Hinduisme menghormati gunung. "Kami juga memperkirakan lokasi temuan itu adalah desa Hindu kuno. Istilah-istilah kuno masih dikenal masyarakat setempat, seperti toyaning atau sumber air, batanan atau kawasan candi bata, dan momahan atau pasar. Namun, hal itu masih perlu dibuktikan dengan penelitian lanjutan," kata Rita.

Warga setempat sekaligus penemu candi, Nur Rochmat (37), berharap Pemerintah Kabupaten Pati mengembangkan lokasi itu sebagai tujuan wisata. Warga telah meminta agar temuan kaki atau dasar candi itu dibuka, tidak ditutup tanah lagi. "Pembukaan lokasi candi sebagai tempat wisata dapat menambah pemasukan masyarakat sekitar dengan membuka warung-warung," kata dia.

Sumber : kompas.com

Candi Kayen Diperkirakan Lebih Tua dari Candi Borobudur

Tim arkeologi dari Balai Arkeologi Yogyakarta menemukan benda cagar budaya yang berusia lebih tua dari Candi Borobudur. Dua bangunan berupa candi itu ditemukan di Desa Kayen, Kecamatan Kayen, Pati, Jawa Tengah.

Penemuan candi berawal dari laporan warga yang menemukan batu bata berukuran besar di area persawahan Dusun Minoyo. Peneliti kemudian mendatangi dan meninjau lokasi temuan.

Mereka lalu menemukan beberapa benda cagar budaya seperti struktur batu bata yang masih tertata, arca, serta artefak dari logam, dan keramik.

Ketua Tim Peneliti, Rita Astari, memperkirakan candi dibuat pada abad ke 7 hingga 8. Perkiraan didapat dari struktur dan bahan bangunan. Diduga, candi berasal dari zaman Kerajaan Mataram Kuno.

Dengan kata lain, candi itu berusia lebih tua dari Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. Candi Borobudur dibangun sekitar abad ke 8 dan proses pembangunannya rampung pada abad ke 9.

Hingga kini, peneliti baru menemukan dua bangunan candi. Peneliti memperkirakan masih akan menemukan candi-candi lain di Desa Kayen, Pati.

Sumber : metrotvnews.com

Friday, October 12, 2012

Selayang Pandang 1

Suasana Pagi Pasar
Jalan Tengah Sawah
Suasana Sudut Sawah

Wednesday, March 28, 2012

Fungsi Hutan Pada Pegunungan Kapur Utara

Hutan jati dan tanaman keras lain yang ada di kawasan Pegunungan Kapur Utara membawa manfaat yang sangat besar bagi penduduk di wilayah sekitar dan negara. Akar-akar jutaan pohon jati dan tanaman keras lainnya dari daerah pegunungan menyerap dan menyalurkan air hujan ke dalam tanah atau bebatuan. Karena sifat kawasan karst, air yang masuk melalui akar tersebut diserap melalui rekahan-rekahan bebatuan kapur melalui sungai sungai bawah tanah dan sebagian yang lain disebarkan melalui jutaan mata air dalam tanah yang memungkinkan tersedianya air tanah di musim hujan atau kemarau pada wilayah kawasan di sekitar Pegunungan Kapur Utara.

Daun-daun yang sudah tua dan mengering yang berasal dari jutaan pohon jatuh ke tanah dan membusuk dan akhirnya busuknya dedaunan tersebut menjadikan Tanah di Pegunungan Kapur Utara dan di sekitarnya menjadi daerah yang subur karena tersedianya pupuk alam tersebut.

Dengan terdapatnya jutaan hingga miliaran tanaman dan tumbuhan di wilayah Pegunungan Kapur Utara maka menjadikan wilayah kehutanan tersebut sebagai tempat tinggal dan sebagai habitat berbagai macam satwa atau binatang. Ribuan burung yang ada diwilayah tersebut sedikit banyak telah membantu ribuan petani agar tanaman padi atau jagung tidak dimakan oleh berbagai macam serangga yang sangat merugikan. Hal ini disebabkan karena burung-burung tersebut memakan ulat atau jenis hama lainnya.
Negara telah mengusahakan penanaman beraneka macam pohon terutama jutaan pohon jati di wilayah tersebut dan telah mengambil kayunya sebagai salah satu pemasukan keuangan negara. Rakyat sekitar pegunungan juga menanam jutaan pohon jati di tanah hak milik mereka sendiri sebagai tanaman hutan rakyat.

Tidak hanya sebagai penyedia air dalam tanah yang melimpah dan penyedia kayu untuk bahan bangunan saja, tetapi dengan adanya jutaan pohon-pohon jati dan tanaman keras lain yang berada di wilayah Pegunungan Kapur Utara atau Pegunungan Kendeng Utara menjadikan wilayah-wilayah di kawasan pegunungan tersebut tersedia oksigen yang cukup untuk jutaan manusia dan hewan yang ada di daerah pegunungan tersebut dan daerah-daerah di sekitarnya. Dengan tersedianya cukup oksigen di kawasan Pegunungan Kapur Utara menjadikan kawasan karst Sukolilo dan Kayen termasuk daerah yang segar dan daerah yang tidak terlalu panas. Dengan lestarinya alam kawasan karst Sukolilo, Kayen, Tambakromo pada kususnya dan Pegunungan Kapur Utara pada umumnya dan secara tidak langsung akan bermanfaat untuk mengurangi pemanasan global.

LESTARIKAN ALAM KITA...

Penulis : P. Damin, Guru Bahasa Inggris, SMPN 1 Kayen