Wednesday, March 28, 2012

Fungsi Hutan Pada Pegunungan Kapur Utara

Hutan jati dan tanaman keras lain yang ada di kawasan Pegunungan Kapur Utara membawa manfaat yang sangat besar bagi penduduk di wilayah sekitar dan negara. Akar-akar jutaan pohon jati dan tanaman keras lainnya dari daerah pegunungan menyerap dan menyalurkan air hujan ke dalam tanah atau bebatuan. Karena sifat kawasan karst, air yang masuk melalui akar tersebut diserap melalui rekahan-rekahan bebatuan kapur melalui sungai sungai bawah tanah dan sebagian yang lain disebarkan melalui jutaan mata air dalam tanah yang memungkinkan tersedianya air tanah di musim hujan atau kemarau pada wilayah kawasan di sekitar Pegunungan Kapur Utara.

Daun-daun yang sudah tua dan mengering yang berasal dari jutaan pohon jatuh ke tanah dan membusuk dan akhirnya busuknya dedaunan tersebut menjadikan Tanah di Pegunungan Kapur Utara dan di sekitarnya menjadi daerah yang subur karena tersedianya pupuk alam tersebut.

Dengan terdapatnya jutaan hingga miliaran tanaman dan tumbuhan di wilayah Pegunungan Kapur Utara maka menjadikan wilayah kehutanan tersebut sebagai tempat tinggal dan sebagai habitat berbagai macam satwa atau binatang. Ribuan burung yang ada diwilayah tersebut sedikit banyak telah membantu ribuan petani agar tanaman padi atau jagung tidak dimakan oleh berbagai macam serangga yang sangat merugikan. Hal ini disebabkan karena burung-burung tersebut memakan ulat atau jenis hama lainnya.
Negara telah mengusahakan penanaman beraneka macam pohon terutama jutaan pohon jati di wilayah tersebut dan telah mengambil kayunya sebagai salah satu pemasukan keuangan negara. Rakyat sekitar pegunungan juga menanam jutaan pohon jati di tanah hak milik mereka sendiri sebagai tanaman hutan rakyat.

Tidak hanya sebagai penyedia air dalam tanah yang melimpah dan penyedia kayu untuk bahan bangunan saja, tetapi dengan adanya jutaan pohon-pohon jati dan tanaman keras lain yang berada di wilayah Pegunungan Kapur Utara atau Pegunungan Kendeng Utara menjadikan wilayah-wilayah di kawasan pegunungan tersebut tersedia oksigen yang cukup untuk jutaan manusia dan hewan yang ada di daerah pegunungan tersebut dan daerah-daerah di sekitarnya. Dengan tersedianya cukup oksigen di kawasan Pegunungan Kapur Utara menjadikan kawasan karst Sukolilo dan Kayen termasuk daerah yang segar dan daerah yang tidak terlalu panas. Dengan lestarinya alam kawasan karst Sukolilo, Kayen, Tambakromo pada kususnya dan Pegunungan Kapur Utara pada umumnya dan secara tidak langsung akan bermanfaat untuk mengurangi pemanasan global.

LESTARIKAN ALAM KITA...

Penulis : P. Damin, Guru Bahasa Inggris, SMPN 1 Kayen

Thursday, March 8, 2012

Sisi Lain dan Sebab Candi Miyono Terbuat dari Batu Bata


Setelah warga Dusun Miyono (Mbuloh), Desa Kayen, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati, Jawa Tengah digegerkan dengan adanya penemuan candi pada sekitar bulan September lalu, kini penggalian dan penelitian oleh BALAR Yogyakarta dan BP3 Jawa Tengah mulai menemukan hasil. Namun diperkirakan penggalian dan penelitian masih memerlukan waktu yang cukup lama lagi dikarenakan adanya beberapa hambatan, yakni kurangnya sarana prasarana, lokasi yang sulit untuk dijangkau, serta keadaan cuaca yang kurang mendukung.
Candi yang penggaliannya belum selesai ini, menurut salah satu sesepuh setempat akan memakan lahan seluas kurang lebih dua hektar. Namun karena adanya beberapa hambatan, akhirnya penggalian pun dihentikan dan akan dilanjutkan kembali pada tahun 2012 mendatang. Sebelum ditindaklanjuti kembali penggalian dan penelitian Benda Cagar Budaya tersebut, rencananya akses jalan menuju lokasi candi akan diperbaiki. Namun masih menunggu dana dari pemerintah Kabupaten turun.
Pihak-pihak terkait ingin melakukan penindaklanjutan kembali karena diduga masih terdapat beberapa emas dan harta karun yang masih terpendam didalamnya. Setelah diketahui struktur batu bata pada bangunan candi, diduga bangunan candi tersebut dibangun pada masa Kerajaan Mataram Hindu pada abad ke-7 sampai 10. Namun belum diketahui pasti filoshopy tentang candi tersebut.
Pada umumnya candi terbuat dari batu, namun candi ini terbuat dari batu bata yang ukurannya tergolong besar, yakni tebal 8-10 cm, lebar 23-24 cm, dan panjang 39 cm. Menurut sesepuh setempat, candi ini terbuat dari batu bata karena pada masa itu, manusia sudah menyadari bahwa hakekatnya mereka terbuat dari tanah liat, maka mereka percaya akan kekokohan dan kekuatan dari sesuatu yang menjadi asal muasal mereka. Sebagai tanda kepercayaan tersebut kemudian mereka membangun candi dari tanah liat. Kalau dianalogikan hal tersebut tidak berbeda jauh dengan ajaran dalam Agama Islam tentang hakekat manusia.
Selain itu, candi tersebut juga menyimpan kesakralan. Hal ini terlihat pada beberapa bukti yang telah terjadi. Warga setempat menuturkan bahwa ada seorang remaja yang sedang mengunjungi candi tersebut, kemudian remaja tersebut membawa pulang salah satu potongan batubata dari candi tersebut. Selang beberapa hari kemudian remaja tersebut mengembalikan kembali batu bata tersebut karena rasa panas yang telah dirasakan setelah mengambil batu tersebut. Remaja tersebut mengaku mengambil salah satu potongan batu bata karena ia berniat untuk menjadikannya jimat.
Beberapa hari kemudian ada seorang gadis remaja yang sedang mengunjungi candi tersebut, setelah puas melihat-lihat lalu gadis tersebut beristirahat dan membeli jajanan di samping area candi. Disela-sela obrolan gadis tersebut dengan temannya telah terdengar sebuah kalimat “ternyata jelek ya candinya, aku kira bagus” oleh pedagang jajanan. Setelah mendengar perkataan seorang gadis tersebut kemudian pedagang menyuruh gadis tersebut untuk meminta maaf pada candi tersebut. Karena rasa takut yang menghantui, kemudian gadis tersebut pun meminta maaf pada candi.
Pedagang tersebut menyuruh gadis itu untuk minta maaf karena berkaca dari kejadian yang menimpa seorang remaja sebelumnya yang merasakan panas setelah mengambil salah satu batu bata dari candi. Ia  tidak mau hal yang sama menimpa pada gadis tersebut. Hal sakral lain yang terdapat pada candi tersebut yaitu sesuatu yang telah terjadi pada arca yang telah ditemukan pada penggalian, yaitu Arca Mahakala.
Karena takut akan pencurian terhadap arca, maka Arca Mahakala diamankan di rumah salah satu warga yang juga sebagai pejabat di desa tersebut. Sebagai tanda penghormatan, sang Arca diberi sebuah sesajen setiap harinya. Pada suatu hari warga lupa memberi sesajen pada arca tersebut. Alhasil sesuatu yang mengagetkan terjadi, airmata kemudian keluar dari kelopak mata arca. Warga yang menjaga sempat dikagetkan dengan adanya kejadian tersebut. Namun oleh sesepuh kemudian diberi pengertian untuk memberi sesajen rutin kepada arca tersebut sebagai penghormatan.
Hal tersebut memberi pelajaran kepada kita untuk selalu menghormati benda cagar budaya dan tidak berbuat senonoh pada lokasi peninggalan benda cagar budaya, karena rata-rata benda cagar budaya meninggalkan warisan mistis yang perlu kita lestarikan. Meski demikian kita tidak boleh terlalu takut akan adanya hal tersebut, karena pada dasarnya mereka (hal mistis) tidak akan mengganggu kita jika kita tidak mengganggu mereka. Dengan ditemukannya benda cagar budaya Candi Miyono di Dusun Miyono (Mbuloh), Desa Kayen, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati, jawa Tengah ini semakin memperkaya Negara Indonesia akan kebudayaan dan peninggalan sejarahnya yang nantinya akan menarik minat wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.

Penulis : Muhammad Shofi'i

Monday, March 5, 2012

Desa Talun


Sejarah

Talun, menurut cerita yang berkembang dimasyarakat, berasal dari kata "Tal" (nama sejenis pohon) dan "alun-alun" (tempat lapang yang ramai atau pusat kegiatan). Alkisah, Ki Ageng Talun, seorang murid dari Sunan Kudus mendapat tugas untuk membuka perkampungan di sebuah hutan yang banyak ditumbuhi oleh pohon "Tal".

Begitu selesai ditebang, luasnya seperti alun-alun. Begitulah, sejak itu orang-orang menyebut tempat itu sebagai Talun. Pohon Tal sendiri sekarang tidak terdapat di desa tersebut. Terakhir, sekitar tahun 1987 masih ada dua pohon di dekat masjid utara desa, namun sudah ditebang pula. Pohon Tal mirip seperti pohon kelapa dengan batangnya yang meninggi.

Ki Ageng Talun sendiri, sekarang, makamnya terdapat di desa Kalimulyo kecamatan Jakenan Kabupaten Pati. Ia menjadi sesepuh bagi penduduk desa Talun maupun desa Kalimulyo.


Geografis

Secara geografis letaknya berbatasan dengan wilayah Kudus (sebelah barat). Desa-desa yang berdekatan adalah desa Pesagi, desa Boloagung, desa Rogomulyo, dan desa Sundoluhur.


Demografi

Masyarakat desa Talun adalah masyarakat muslim. Ada beberapa pesantren dan madrasah yang menjadi tempat belajar para warga.

Umumnya para warga bertani, berdagang, dan menjadi tenaga kerja di luar negeri (Malaysia, Hongkong dan Arab Saudi).


Agrowisata Perikanan Air Tawar

Selain menjadi petani, banyak penduduk yang membudidayakan ikan air tawar, mengingat desa ini sebagian merupakan daerah rawa-rawa yang berlimpah dengan air.

Luas tambak lebih kurang 8 Ha. Jenis ikan yang dibudidayakan diantaranya ikan bandeng, ikan tawes, nila, tombro dan karper. Sementara ini yang sudah dioperasikan adalah untuk tempat pemancingan dan pondok saji ikan bakar sebagai sarana rekreasi keluarga yang murah meriah khususnya bagi penggemar memancing.

Sumber : Wikipedia
Foto : di sini



Sunday, March 4, 2012

Makam Syeh Jangkung


Bangunan pendopo dan bangunan mesjid

Saridin atau terkenal dengan nama Syeh Jangkung konon merupakan salah seorang murid Sunan Kalijaga (Wali Songo). Beliau dimakamkan di Desa Landoh, Kecamatan Kayen. Jarak dari kota Pati kira-kira 17 Km kearah selatan menuju Kabupaten Grobogan. Makam ini banyak dikunjungi orang setiap hari Jumat Kliwon dan Jumat Legi.


Upacara Khol dilaksanakan 1 tahun sekali, yaitu setiap tanggal 14 – 15 bulan Rajab dengan acara :
- Upacara Ganti Selambu
- Pasar Malam
- Pengajian



Makam ini ramai dikunjingi wisatawan, lebih-lebih hari Jum'at Pahing, pengunjung dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera bahkan Malaysia dan Singapura.

Pintu Makam
Sejarah Singkat :
Menurut cerita Saridin (Syech Jangkung) dilahirkan di Desa Landoh Kiringan Tayu.Setelah dewasa beliau berkelana di daerah-daerah Pulau Jawa bahkan sampai di Sumatera untuk menyebarkan Agama Islam. Waktu masih hidup beliau wasiat apabila wafat agar dimakamkan di Desa Landoh,Kayen.

Dikomplek Makam Saridin ada beberapa makam :
a. Makam bakul legen yaitu Prayoguna dan Bakirah.
b. Makam isteri-isterinya yaitu RA Retno Jinoli dan RA Pandan Arum.




Sumber : di sini

Mengungkap Sosok Saridin


Syeh Jangkung ketika Kecil Sangat Nakal
Gambar Ilustrasi
SIAPA sebenarnya Saridin itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, warga Pati dan sekitarnya mungkin bisa membaca buku Babad Tanah Jawa yang hidup sekitar awal abad ke-16. Sebab, menurut cerita tutur tinular yang hingga sekarang masih diyakini kebenarannya oleh masyarakat setempat, dia disebut-sebut putra salah seorang Wali Sanga, yaitu Sunan Muria dari istri bernama Dewi Samaran.

 Siapa wanita itu dan mengapa seorang bayi laki-laki bernama Saridin harus dilarung ke kali? Konon cerita tutur tinular itulah yang akhirnya menjadi pakem dan diangkat dalam cerita terpopuler grup ketoprak di Pati, Sri Kencono. Cerita babad itu menyebutkan, bayi tersebut memang bukan darah daging Sang Sunan dengan istrinya, Dewi Samaran.

Terlepas sejauh mana kebenaran cerita itu, dalam waktu perjalanan cukup panjang muncul tokoh Branjung di Desa Miyono yang menyelamatkan dan merawat bayi Saridin hingga beranjak dewasa dan mengakuinya sebagai saudaranya. Cerita pun merebak. Ketika masa mudanya, Saridin memang suka hidup mblayang (berpetualang) sampai bertemu dengan Syeh Malaya yang dia akui sebagai guru sejati.

Syeh Malaya itu tak lain adalah Sunan Kalijaga. Kembali ke Miyono, Saridin disebutkan telah menikah dengan seorang wanita yang hingga sekarang masyarakat lebih mengenal sebutan ”Mbokne (ibunya) Momok” dan dari hasil perkawinan tersebut lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Momok.

Sampai pada suatu ketika antara Saridin dan Branjung harus bagi waris atas satu-satunya pohon durian yang tumbuh dan sedang berbuah lebat. Bagi waris tersebut menghasilkan kesepakatan, Saridin berhak mendapatkan buah durian yang jatuh pada malam hari, dan Branjung dapat buah durian yang jatuh pada siang hari.

Kiasan

Semua itu jika dicermati hanyalah sebuah kiasan karena cerita tutur tinular itu pun melebar pada satu muara tentang ketidakjujuran Branjung terhadap ibunya Momok. Sebab, pada suatu malam Saridin memergoki sosok bayangan seekor macan sedang makan durian yang jatuh.

Dengan sigap, sosok bayangan itu berhasil dilumpuhkan menggunakan tombak. Akan tetapi, setelah tubuh binatang buas itu tergolek dalam keadaan tak bernyawa, berubah wujud menjadi sosok tubuh seseorang yang tak lain adalah Branjung.

Untuk menghindari cerita tutur tinular agar tidak vulgar, yang disebut pohon durian satu batang atau duren sauwit yang menjadi nama salah satu desa di Kecamatan Kayen, Durensawit, sebenarnya adalah ibunya Momok, tetapi oleh Branjung justru dijahili.

Terbunuhnya Branjung membuat Saridin berurusan dengan penguasa Kadipaten Pati. Adipati Pati waktu itu adalah Wasis Joyo Kusumo yang harus memberlakukan penegakan hukum dengan keputusan menghukum Saridin karena dinyatakan terbukti bersalah telah membunuh Branjung.

Meskipun dalam pembelaan Saridin berulang kali menegaskan, yang dibunuh bukan seorang manusia tetapi seekor macan, fakta yang terungkap membuktikan bahwa yang meninggal adalah Branjung akibat ditombak Saridin.

Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, dia harus menjalani hukuman yang telah diputuskan oleh penguasa Pati.

Pulang

Sebagai murid Sunan Kalijaga yang tentu mempunyai kelebihan dan didorong rasa tak bersalah, kepada penguasa Pati dia menyatakan telah punya istri dan anak. Karena itu, dia ingin pulang untuk menengok mereka.

Ulahnya Menjengkelkan Sunan Kalijaga


 ONTRAN - ontran Saridin di perguruan Kudus tidak hanya menjengkelkan para santri yang merasa diri senior, tetapi juga merepotkan Sunan Kudus. Sebagai murid baru dalam bidang agama, orang Miyono itu lebih pintar ketimbang para santri lain.

Belum lagi soal kemampuan dalam ilmu kasepuhan. Hal itu membuat dia harus menghadapi persoalan tersendiri di perguruan tersebut. Dan itulah dia tunjukkan ketika beradu argumentasi dengan sang guru soal air dan ikan.

Untuk menguji kewaskitaan Saridin, Sunan Kudus bertanya, “Apakah setiap air pasti ada ikannya?” Saridin dengan ringan menjawab, “Ada, Kanjeng Sunan.”

Mendengar jawaban itu, sang guru memerintah seorang murid memetik buah kelapa dari pohon di halaman. Buah kelapa itu dipecah. Ternyata kebenaran jawaban Saridin terbukti. Dalam buah kelapa itu memang ada sejumlah ikan. Karena itulah Sunan Kudus atau Djafar Sodiq sebagai guru tersenyum simpul.

Akan tetapi murid lain menganggap Saridin lancang dan pamer kepintaran. Karena itu lain hari, ketika bertugas mengisi bak mandi dan tempat wudu, para santri mengerjai dia. Para santri mempergunakan semua ember untuk mengambil air.

Saridin tidak enak hati. Karena ketika para santri yang mendapat giliran mengisi bak air, termasuk dia, sibuk bertugas, dia menganggur karena tak kebagian ember. Dia meminjam ember kepada seorang santri.

Namun apa jawab santri itu? ”Kalau mau bekerja, itu kan ada keranjang.” Dasar Saridin. Keranjang itu dia ambil untuk mengangkut air. Dalam waktu sekejap bak mandi dan tempat wudu itu penuh air. Santri lain pun hanya bengong.

Dalam WC

Cerita soal kejadian itu dalam sekejap sudah diterima Sunan Kudus. Demi menjaga kewibawaan dan keberlangsungan belajar para santri, sang guru menganggap dia salah. Dia pun sepantasnya dihukum.

Sunan Kudus pun meminta Saridin meninggalkan perguruan Kudus dan tak boleh lagi menginjakkan kaki di bumi Kudus. Vonis itu membuat Saridin kembali berulah. Dia unjuk kebolehan.

Tak tanggung-tanggung, dia masuk ke lubang WC dan berdiam diri di atas tumpukan ninja. Pagi-pagi ketika ada seorang wanita di lingkungan perguruan buang hajat, Saridin berulah. Dia memainkan bunga kantil, yang dia bawa masuk ke lubang WC, ke bagian paling pribadi wanita itu.

Karena terkejut, perempuan itu menjerit. Jeritan itu hingga menggegerkan perguruan. Setelah sumber permasalahan dicari, ternyata itu ulah Saridin. Begitu keluar dari lubang WC, dia dikeroyok para santri yang tak menyukainya. Dia berupaya menyelamatkan diri. Namun para santri menguber ke mana pun dia bersembunyi.

Lagi-lagi dia menjadi buronan. Selagi berkeluh kesah, menyesali diri, dia bertemu kembali dengan sang guru sejati, Syekh Malaya.

Sang guru menyatakan Saridin terlalu jumawa dan pamer kelebihan. Untuk menebus kesalahan dan membersihkan diri dari sifat itu, dia harus bertapa mengambang atau mengapung) di Laut Jawa.

Padahal, dia tak bisa berenang. Syekh Malaya pun berlaku bijak. Dua buah kelapa dia ikat sebagai alat bantu untuk menopang tubuh Saridin agar tak tenggelam.

Dalam cerita tutur-tinular disebutkan, setelah berhari-hari bertapa di laut dan hanyut terbawa ombak akhirnya dia terdampar di Palembang. Cerita tidak berhenti di situ. Karena, dalam petualangan berikutnya, Saridin disebut-sebut sampai ke Timur Tengah.

Lulang Kebo Landoh Tak Tembus Senjata


 ATAS jasanya menumpas agul-agul siluman Alas Roban, Saridin mendapat hadiah dari penguasa Mataram, Sultan Agung, untuk mempersunting kakak perempuannya, Retno Jinoli.

Akan tetapi, wanita itu menyandang derita sebagai bahu lawean. Maksudnya, lelaki yang menjadikannya sebagai istri setelah berhubungan badan pasti meninggal.

Dia harus berhadapan dengan siluman ular Alas Roban yang merasuk ke dalam diri Retno Jinoli. Wanita trah Keraton Mataram itu resmi menjadi istri sah Saridin dan diboyong ke Miyono berkumpul dengan ibunya, Momok.

Saridin membuka perguruan di Miyono yang dalam waktu relatif singkat tersebar luas sampai di Kudus dan sekitarnya. Kendati demikian, Saridin bersama anak lelakinya, Momok, beserta murid-muridnya, tetap bercocok tanam.

Sebagai tenaga bantu untuk membajak sawah, Momok minta dibelikan seekor kerbau milik seorang warga Dukuh Landoh. Meski kerbau itu boleh dibilang tidak lagi muda umurnya, tenaganya sangat diperlukan sehingga hampir tak pernah berhenti dipekerjakan di sawah.

Mungkin karena terlalu diforsir tenaganya, suatu hari kerbau itu jatuh tersungkur dan orang-orang yang melihatnya menganggap hewan piaraan itu sudah mati. Namun saat dirawat Saridin, kerbau itu bugar kembali seperti sedia kala.

Membagi

Dalam peristiwa tersebut, masalah bangkit dan tegarnya kembali kerbau Landoh yang sudah mati itu konon karena Saridin telah memberikan sebagian umurnya kepada binatang tersebut. Dengan demikian, bila suatu saat Saridin yang bergelar Syeh Jangkung meninggal, kerbau itu juga mati.

Hingga usia Saridin uzur, kerbau itu masih tetap kuat untuk membajak di sawah. Ketika Syeh Jangkung dipanggil menghadap Yang Kuasa, kerbau tersebut harus disembelih. Yang aneh, meski sudah dapat dirobohkan dan pisau tajam digunakan menggorok lehernya, ternyata tidak mempan.

Bahkan, kerbau itu bisa kembali berdiri. Kejadian aneh itu membuat Momok memberikan senjata peninggalan Branjung. Dengan senjata itu, leher kerbau itu bisa dipotong, kemudian dagingnya diberikan kepada para pelayat.

Kebiasan membagi-bagi daging kerbau kepada para pelayat untuk daerah Pati selatan, termasuk Kayen, dan sekitarnya hingga 1970 memang masih terjadi. Lama-kelamaan kebiasaan keluarga orang yang meninggal dengan menyembelih kerbau hilang.

Kembali ke kerbau Landoh yang telah disembelih saat Syeh Jangkung meninggal. Lulang (kulit) binatang itu dibagi-bagikan pula kepada warga. Entah siapa yang mulai meyakini, kulit kerbau itu tidak dimasak tapi disimpan sebagai piandel.

Barangsiapa memiliki lulang kerbau Landoh, konon orang tersebut tidak mempan dibacok senjata tajam. Jika kulit kerbau itu masih lengkap dengan bulunya. Keyakinan itu barangkali timbul bermula ketika kerbau Landoh disembelih, ternyata tidak bisa putus lehernya. (Alman Eko Darmo-42j)

Sumber : di sini

Asem Kemis

Apa itu Asem Kemis?


Asem Kemis adalah pohon asem yang ajaib. Pohon asem ini asal-usulnya adalah tanaman Syeikh Jangkung darl biji asem yang matang direbus. Ketika itu Syeikh Jangkung sedang ketamuan Sultan Agung Jogya dan ada jamuan makan dengan sayur asem. Biji Asem itu dijatuhkannya di tanah dikatakan kepadanya demikian: "Hai biji asem, meskipun engkau adalak makhluk Tuhan yang telah mati sebab matang direbus, tapi kuminta engkau hidup dan tumbuh menjadi pohon besar yang berguna untuk tempat bernaung nanti akhir zaman bagi anak cucuku".

Biji asem yang mati dan matang itu benar-benar hidup secara ajaib, (umur sehari sama dengan umur tiga bulan, umur sebulan sama dengan umur tiga tabun). Menanamnya pada hari Kemis Legi, sehingga sekarang oleh masyarakat dikenal dengan nama asem Kemis Legi.

Pohon Asem itu sampai sekarang masih hidup dan telah berumur kurang lebih 450 tahun. Besarnya memerlukan pelukan tujuh orang untuk bisa sambung.

Pohon asem ini berada di Ngrajan, tepatnya di depan sebuah masjid yang kini lebih dikenal sebagai masjid asem kemis. Pohon yang letaknya di tengah-tengah permukiman warga ini juga menjadi tempat yang cukup ramai dengan aktifitas, misalnya jual beli jajanan, tempat istirahat, dan juga menjadi tempat bermain bagi anak-anak kecil.

Sumber : dari sini
Foto : dari sini

Gua Pancur


Gua Pancur merupakan sebuah gua di kawasan batuan kapur (karst) yang mempunyai lorong sepanjang lebih kurang 7.356 meter (7 km). Dan sebagaimana lazimnya gua-gua yang terbentuk secara alami di balik perut Pegunungan Kapur Kapur Utara, gua ini dipenuhi oleh bebatuan stalaktit dan stalakmit, tentu menjadi daya tarik tersendiri.

Di dalam gua terdapat aliran sungai dengan air yang mengalir keluar dengan kedalaman sebatas pinggul orang dewasa, merupakan mata air yang berasal dari ujung gua paling dalam, dan tak pernah kering, meskipun musim kemarau panjang. Debit air yang keluar dai mulut gua lebih kurang 40 liter/detik

Beberapa daya tarik lainnya, aliran sungai dalam gua tersebut juga terdapat beberapa jenis ikan besar maupun kecil,yang tak pernah bisa dipancing.

Di dalam gua ini terdapat batuan kapur yang bentuknya patung mirip seekor kuda yang oleh warga setempat diberi nama sebagai watu jaran (batu kuda).

Di luar gua dibangun sebuah danau buatan yang sekaligus dapat digunakan sebagai kolam pemancingan. Danau buatan ini menampung air yang keluar dari dalam gua untuk selanjutnya dialirkan menuju sawah dan perkampungan warga setempat.

Obyek wisata ini perlu perhatian yang serius dari pemda dan juga seluruh masyarakat Kayen, agar aset daerah yang dimiliki ini dapat terjaga kelestariannya dan dapat menarik para wisatawan untuk berkunjung.

Situs Candi Miyono

Berawal  dari hasil peninjauan yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta (BALAR Yogyakarta) pada tanggal 4 Mei 2011 di Dusun Miyono (Mbuloh), Desa Kayen, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati Jawa Tengah;  tim yang dipimpin oleh dra. TM. Rita Istari dengan anggota Hery Priswanto, SS. , Agni Sesaria Mochtar, SS.  dan Ferry Bagus  berhasil mengidentifikasikan beberapa temuan Benda Cagar Budaya (BCB) yaitu di antaranya struktur bata yang masih intact, arca  serta beberapa artefak dari logam dan keramik. Kedatangan tim Balai Arkeologi Yogyakarta ini atas laporan dari warga sekitar Situs Kayen yang di wakili oleh Nur Rohmad (Pengurus Makam Ki Gede Miyono) dan Subono (Kepala Desa Kayen) mengenai tindak lanjut mengenai keberadaan Situs Kayen.
Secara astronomis Situs Kayen terletak pada 1110 00’ 17,0” BT   060 54’ 31.8”  LS  berada di dataran alluvial yang cukup datar dan Pegunungan Kendeng di Selatannya. Kondisi lingkungan Situs Kayen cukup subur dengan didukung keberadaan Sungai Sombron  yang berhulu di Pegunungan kendeng dan bermuara di Sungai Tanjang.
Sebenarnya temuan di Situs Kayen ini sudah dijumpai pada bulan agustus 2010, ketika penduduk setempat berniat membangun mushola di sebelah barat makam Ki Gede Miyono menemukan bata-bata kuna yang berukuran besar. Pembangunan mushola ini bertujuan diperuntukkan tempat ibadah bagi para peziarah makam Ki Gede Miyono. Oleh penduduk setempat, beberapa bata kuna tersebut dimanfaatkan untuk membangun Makam Ki Gede Miyono. Menindaklanjuti temuan tersebut, pihak Disbudpora Kabupaten Pati  berkoordinasi dengan BP3 Jawa Tengah untuk mengidentifikasikan temuan tersebut.
Identifikasi temuan Benda Cagar Budaya  BALAR Yogyakarta yang telah dilakukan tidak jauh berbeda hasilnya dengan BP3 Jawa Tengah yaitu:

Monumen (bangunan)
Struktur berbahan bahan bata yang masih intact dan terpendam dalam tanah, beberapa temuan bata-bata kuna berukuran tebal 8 – 10 cm, lebar 23 – 24 cm, dan panjang 39 cm, serta komponen bagian dari candi seperti antefiks dan kemuncak di sekitar situs diduga merupakan bangunan candi.

Artefaktual

Berbahan bata : Wadah peripih, antefiks, kemuncak candi, bata candi berpelipit, bata bertulis
Berbahan batu putih : Arca Mahakala, Umpak, Kemuncak candi
Berbahan logam : Darpana (cermin berbentuk bundar atau lonjong dgn tangkai yang dipahat dengan bagus), Piring, Lampu gantung
Berbahan keramik : Mangkuk, Buli-buli, Piring, Cepuk bertutup






Berdasarkan hasil peninjauan Tim Balai Arkeologi Yogyakarta di Situs Kayen diperoleh kesimpulan bahwa temuan BCB di Situs Kayen mempunyai nilai arkeologi dan kesejarahan yang cukup tinggi dalam kaitan penyusunan historiografi di Indonesia, terutama temuan struktur bata yang diduga sebagai candi ini merupakan temuan baru karena berada di wilayah Pantai Utara Jawa (Pantura). Temuan candi berbahan bata sejenis banyak dijumpai di wilayah pedalaman Jawa seperti di poros Kedu – Prambanan dan Trowulan.

Sumber : ArkeologiJawa

Kecamatan Kayen

Kayen adalah sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Indonesia. Kecamatan ini berada di Pati bagian selatan, yang dilewati jalan penghubung antara Pati dan Purwodadi.
Beberapa desa yang ada di wilayah Kecamatan Kayen diantaranya desa Beketel, Boloagung, Brati, Durensawit, Jatiroto, Jimbaran, Kayen, Pasuruhan, Pesagi, Purwokerto, Rogomulyo, Slungkep, Srikaton, Sumbersari, Sundoluhur, Talun, dan Trimulyo.
Kayen dilewati oleh pegunungan kapur utara yang membentang melewati Kabupaten Pati bagian selatan, Kabupaten Grobogan bagian utara, Kabupaten Rembang, Kabupaten Blora, Kabupaten Tuban, Kabupaten Bojonegoro bagian utara dan Kabupaten Lamongan bagian barat.

Penduduk
Penduduk di Kecamatan Kayen kebanyakan adalah penduduk asli kelahiran Kayen, dan sebagian merupakan pendatang dari berbagai daerah.
Mengingat kondisi Kayen yang masih cukup terjaga, mata pencaharian warga yang masih mendominasi adalah di bidang pertanian. Selain itu juga banyak yang berkecimpung di dunia wiraswasta seperti berdagang, penyedia jasa, tenaga bangunan, dan yang lainnya. Untuk profesi lain yang ada yaitu PNS.

Sektor Pertanian dan Perikanan
Sektor pertanian di Kecamatan Kayen memiliki hasil yang cukup melimpah. Luasnya areal pertanian, cukupnya ketersediaan air irigasi, dan suburnya tanah merupakan beberapa contoh faktor pendukung di sektor ini.
Padi, jagung, ubi-ubian, sayur mayur, buah-buahan, dan ikan air tawar adalah beberapa hasil dari sektor pertanian dan perikanan.

Sektor Pendidikan
Di Kecamatan Kayen ini terdapat 40 Sekolah Dasar Negeri, 2 Sekolah Menengah Pertama Negeri, 1 Sekolah Menengah Atas Negeri, dan beberapa sekolah swasta yang dikelola oleh yayasan seperti Muhammadiyah, Walisongo, dan yang lainnya. Lebih lengkapnya lihat di sini.

Sektor Pariwisata
Di Kecamatan Kayen terdapat beberapa area wisata, diantaranya Gua Pancur, Danau Terpus, Makam Syeh Jangkung, situs cagar budaya Candi Miyono, Pemancingan Talun, Kedung Buyut, Gua Joko Kendat, dan lain sebagainya.
Sektor pariwisata ini perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah daerah serta peran serta masyarakat agar tetap terjaga kelestariannya dan dapat menarik wisatawan untuk berkunjung, yang berarti akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan daerah.


Sektor Pertambangan
Kondisi alam Kecamatan Kayen yang dilewati pegunungan kapur utara, memberikan ruang bagi masyarakat untuk melakukan pertambangan fosfat, batu kapur, pasir dan batu kali, dan lain sebagainya. Namun kondisi ini jika tidak dikontrol dengan baik akan dapat merusak keindahan alam yang ada.

Sektor Kehutanan
Pada sektor ini dikelola oleh Dinas Kehutanan (Perhutani), namun banyak juga masyarakat yang menanam pohon Jati, Mahoni, dan yang lainnya untuk mengisi kebun mereka.
Sektor ini juga perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah daerah, karena banyaknya penebangan yang tak terkendali akan menyebabkan banjir dan erosi yang dapat merusak keseimbangan alam.